Laman

Jumat, 27 Mei 2011

Syariat-Khilafah di Persimpangan Jalan

Oleh Imam Muttaqin (Forum Komunikasi Pemuda Indonesia)Komunis sudah pernah eksis dan diruntuhkan orang-orang sendiri yang sudah sangat jengah karena jelas kerusakan yang ditimbulkan. Nampaknya tidak akan jauh berbeda dengan kapitalis yang saat ini juga berada pada ambang kehancuran. Pelan tapi pasti telah tampak kerusakannya di sana-sini.
SETELAH komunis hancur dan (kemungkinan) kapitalis menyusul, tinggal satu pilihan kita yakni ideologi Islam yang mampu menyejahterakan seluruh umat manusia tanpa terkecuali. Fakta akan munculnya kembali ideologi yang pernah berjaya selama 13 abad yang runtuh pada 3 Maret 1924 di Turki tersebut tak bisa dielakkan lagi.
    Tentu kesadaran yang mencuat di tengah masyarakat (khususnya kaum muslimin) untuk memperjuangkan ideologi Islam tidak akan ’lulus sensor’ dari para kapitalis. Opini syariat dan khilafah terus mendapatkan perlakuan keji. Mereka (baca: kapitalis) akan senantiasa berusaha meredam, menghalangi, bahkan menyerang apa pun yang dianggap mengancam keutuhan ideologi mereka.
    Kini yang paling terlihat, kapitalis menyerang kebangkitan ideologi Islam dengan mengembuskan tudingan terorisme, proyek deradikalisasi, ditambah kasus NII (Negara Islam Indonesia) yang kini sedang panas-panasnya. Sungguh apa pun bentuknya semata tak lain adalah upaya menghadang ideologi Islam menjadi unggul di atas ideologi kapitalis yang memang saat ini semakin jelas menampakkan kecacatan.
Mereka (kapitalis) berupaya membangun brand image negatif bahwa perjuangan penegakan syariat dan khilafah identik dengan terorisme. Dengan itu, mereka berharap nantinya akan terjadi penolakan masif terhadap perjuangan ideologi/negara Islam (baca: khilafah) di tengah masyarakat. Maka perlu meninggalkan kemalasan berpikir kita agar tak terjangkit penyakit islamophobia.
    Sejak awal perang melawan terorisme (war on terorism) yang dipimpin AS, bukan hanya merupakan perang fisik. Tapi juga perang pemikiran (war on idea). Pada 2002, sekretaris menteri pertahanan AS saat itu, Paul Wolfowitz, mengatakan, ’’Saat ini, kita sedang bertempur dalam perang melawan teror, perang yang akan kita menangkan. Perang yang lebih besar yang kita hadapi adalah perang pemikiran,  jelas suatu tantangan, tapi sesuatu yang juga harus kita menangkan’’.
    Senada dinyatakan Penasihat Keamanan Nasional AS Condoleezza Rice (2004) yang saat itu menjadi penasihat keamanan nasional AS. ’’Kemenangan sebenarnya tidak akan muncul hanya teroris dikalahkan dengan kekerasan, tapi ideologi kematian dan kebencian dikalahkan’’. Tepat dikatakan kalau akhirnya yang terjadi adalah proses pengkriminalan negara Islam. Dan proses kriminalisasi terhadap ide syariat juga negara Islam atau khilafah ini makin menguak dan terbuka. Tidak hanya terjadi di negeri Barat yang menjadi sentral kendali kapitalisme global, tapi juga Islam, termasuk Indonesia.
    Berikut sebagian fakta proses kriminalisasi tersebut yang tampak dilakukan secara sistemik. Pertama, dalam jumpa pers di Markas Besar Polri, Jakarta, Jumat (24/9), Kapolri Jenderal (Pol.) Bambang Hendarso Danuri menyatakan, ’’aksi teroris yang dilakukan sejak 2000 hingga kasus terakhir penembakan polisi di Mapolsek Haamparan Perak, Deli Serdang, Sumut, 2010, memiliki target mengambil alih kekuasaan negara untuk menegakkan negara Islam,’’ dikutip salah satu koran nasional (25/9/2010).
    Kesan mengaitkan terorisme dengan Islam memang sangat kuat dengan penggunaan istilah ’’terorisme Islam’’, Jamaah Islamiyah, ‘militan Islam’ dan penyebutan lainnya. Hal ini sangat berbeda kalau pelaku terorisme adalah kelompok di luar Islam, seperti IRA di Irlandia atau Macan Tamil di Sri Lanka. Media, pengamat, atau pejabat publik tidak pernah mengaitkan pelaku dengan agamanya seperti ’teroris Kristen’ atau ’militan Hindu’.
    Stigmatisasi ini kemudian menjadi sangat berbahaya karena digunakan sebagai alat generalisasi bahkan pembenaran. Akhirnya opini yang muncul, siapa pun kelompok Islam yang menentang Amerika atau mencita-citakan syariat dan khilafah kemudian dicap atau dikesankan sebagai teroris. Namun, perlu ditelaah bahwa para pelaku teroris yang mengklaim menginginkan diterapkannya syariat Islam, mendirikan negara Islam bisa jadi pemahaman yang keliru terhadap metode penegakan berdirinya negara Islam yang pada akhirnya ini menjadi lahan bagi orang-orang yang membenci Islam (baca : ideologi lain).
    Mayoritas kaum muslim tentu memiliki pemahaman yang sama bahwa aksi terorisme yang merusak dan membunuh manusia tanpa hak, apalagi disertai dengan perampokan, merupakan kejahatan besar yang diharamkan Islam. Thariqah (metode) Rasulullah SAW dalam menegakkan syariat dan Daulah Islamiyah dilakukan melalui proses perang pemikiran (dakwah fikriyah) bukan perang senjata. Hal ini tampak dalam aktivitas dakwah beliau pada periode Makkah yang sama sekali tidak melakukan kekerasan. Aksi jihad pun baru dilakukan Rasulullah setelah berdirinya negara Islam di Madinah.
    Karena itu, jika ada pihak yang melakukan aksi terorisme apalagi disertai perampokan untuk mendirikan Negara Islam, maka harus dipertanyakan. Mungkin mereka tidak memahami metode penegakan Negara Islam (baca : khilafah) yang tidak boleh menggunakan aksi kekerasan apalagi kriminalitas. Namun tidak tertutup kemungkinan bahwa mereka akhirnya dikendalikan pihak tertentu yang ingin menjelekkan Islam, menggerus opini syariah dan khilafah.
Pengamat Intelijen Wawan Purwanto dalam bukunya ’Terorisme Undercover (CMB, 2007) membeberkan bahwa Noordin M. Top dan Dr. Azhari hanyalah pelaku lapangan yang dibayar. Pakar Intelijen, A.C. Manullang yang juga mantan BAKIN berpendapat, Noordin hanya dipakai kekuatan asing untuk menjelekkan Islam.
    ’Dagangan’ lain dari upaya menghadang derasnya perjuangan ideologi Islam adalah kasus NII. Meski sudah sangat jelas bahwa NII yang sekarang adalah NII yang palsu. Namun tidak satu pun media yang mau memberikan keterangan yang benar kepada masyarakat. Bahwa tidak perlu sampai anti pada perjuangan syariat dan khilafah karena NII yang sekarang (baca: NII gadungan) jelas-jelas hanya sebuah kelompok yang mengklaim memperjuangkan negara Islam. Tapi, nyatanya bertentangan dengan Islam.
    Bagaimana tidak, memperjuangkan hukum Islam tapi malah mencuri dan melacur yang katanya untuk wajib setor infak dan banyak lagi hal salah dan jelas-jelas bertentangan dengan Islam. Tidak cukupkah ini membuka pikiran masyarakat? Padahal, pakar terorisme sekaligus mantan anggota NII, Al Chaidar, mengatakan masyarakat harus membedakan mana NII asli yang tujuannya mendirikan negara Islam dengan NII gadungan. ’’NII yang palsu membuat indoktrinasi berlebihan. Sementara itu, NII asli melakukan internalisasi ajaran dalam kehidupan sehari-hari, tidak menanamkan doktrin’’. (*)

sumber: Radar Lampung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar